Senjata Orang-orang Yang Kalah; Sebuah Karya James C. Scott



Menurut Scott, bermalas-malasan adalah bentuk perlawanan sehari-hari bagi kaum lemah. Kaum lemah akan giat bila diawasi, akan berkata ‘YA’ saat di perintah, namun akan malas bila pengawas pergi, atau mengabaikan perintah. Sikap malas-malasan ini sebagai bentuk perlawanan karena toh bila rajin pun keuntungan terbesar akan menjadi milik orang lain, sedangkan kaum lemah bahkan tak mendapatkan hak yang cukup. Sikap bermalas-malasan ini tentu mengandalkan sikap tahu sama tahu diantara kaum lemah, dan sulit diketahui kaum berkuasa.

James C. Scott, seorang Ilmuwan Politik, di tahun 1970an, merasa resah dengan kajian-kajian tentang perlawanan dan revolusi kaum tani, termasuk pada kajian-kajiannya sendiri. Ia merasa aneh, dalam sejarah panjang, sangat sedikit sekali kaum tani tercatat dalam sejarah melakukan perlawanan dan revolusi. Ia khawatir, bahwa yang tercatat selama ini tentang perlawanan dan revolusi hanyalah dari kacamata akademisi barat dan juga romantisme ilmuwan-aktivis radikal, dengan kriteria perlawanan: terbuka, bertujuan mengganti struktur negara, dengan organisasi radikal. Sehingga, perlawanan yang tak memenuhi kriteria tersebut, tak akan tertera di dalam catatan sejarah sebagai bentuk perlawanan dan revolusi.

Padahal menurut Scott, bisa jadi kemunculan perlawanan yang militan, terbuka, dengan organisasi yang jelas, tak selalu mendapatkan situasi yang memungkinkan untuk tumbuh berkembang, ketiadaan tokoh kharismatik atau organisasi radikal dan peluang kondisi situasi yang meliputinya. Bilapun ada, terkadang langsung mendapat serangan balik yang mematikan dari kelas penguasa. Bahkan bilamana kaum tani ikut serta mendukung gerakan perlawanan dan revolusi radikal, lekas setelah berkuasa, kelas penguasa akan meminggirkan kelas petani, padahal mereka berkuasa karena perjuangan kelas petani tersebut.

Resiko yang demikian besar yang dialami kelas petani, yang disebut oleh Scoot sebagai “orang-orang yang kalah”, mengharuskan mereka menemukan cara perlawanan yang paling efektif dan efisien, yaitu apa yang disebut sebagai “perlawanan sehari-hari”. Perlawanan yang seperti diaampaikan Eric Hobsbawm, yaitu dengan cara “mengikuti sistem… yang paling sedikit merugikan diri sendiri”.

Orang-orang yang kalah, yang tak punya kuasa, harus melakukan “perlawanan sehari-hari” demi melanjutkan hidupnya sekaligus menghindari resiko yang lebih besar dari perlawanan balik yang diterimanya.

Kondisi Sosial-Ekonomi di ‘Sedaka’, Kedah Malaysia

Scott selaku ilmuwan politik, harus melakukan kerja seorang antropolog selama dua tahun (1978-1980), tinggal di sebuah kampung bernama Sedaka (bukan nama sebenarnya) di Negara Bagian Kedah, Malaysia, guna mengamati kehidupan kaum tani dan bentuk ‘perlawanan sehari-hari’ yang terjadi.

Di kampung Sedaka, yang dihuni 74 Rumah Tangga, yang mayoritas bergantung dari kegiatan pertanian, memiliki komposisi yang jelas mengenai kelas berkuasa dan orang-orang kalah. Orang-orang kaya, yaitu para petani kaya, pemilik lahan yang luas. Mereka yang kaya berjumlah sedikit namun memiliki luas lahan yang dominan. Sebaliknya, orang-orang kalah, miskin, didominasi petani dengan lahan kecil, petani sewa lahan kecil, maupun para buruh tani, yang jumlahnya besar namun kepemilikan lahan yang kecil.

Setelah masuknya Revolusi Hijau, yang dipahami warga Sedaka dengan dimulainya sistem tanam dua kali selama setahun, mayoritas penduduk merasakan peningkatan kondisi, tidak ada lagi situasi seperti kelaparan, tingkat pendapatan pun relatif meningkat. Terlihat dari kepemilikan alat-alat elektronik dan kendaraan bermotor yang meningkat pesat. Namun seiring tingkat pendapatan yang meningkat, tingkat kebutuhan hidup pun meningkat, karena harga relatif naik mengikuti tingkat pendapatan.

Termasuk yang ikut serta naik adalah harga sewa lahan pertanian. Sehingga membuat kepemilikan lahan semakin timpang. Kaum miskin, yang terdiri dari petani pemilik lahan kecil, petani sewa lahan kecil, maupun buruh tani, makin sulit membeli atau menyewa tanah yang kian mahal. Sistem sewa tunai di muka yang menggantikan sistem sewa bagi hasil, mempersulit para penyewa, apalagi penyewa lahan kecil. Sedangkan jangka waktu sewa semakin lama semakin panjang. Pemilik lahan, menginginkan lahannya disewa dalam jangka waktu panjang, itu artinya para penyewa harus memiliki dana tunai yang besar, yang bagi penyewa lahan kecil, itu sangat berat. Pemilik lahan, bisa dengan mudah mengancam atau memutuskan untuk tidak mau memperpanjang perjanjian sewa bila tidak mau sewa jangka panjang, dengan berbagai alasan, misal lahan akan digarap anaknya, dan lainnya. Sedangkan bagi para penyewa, pilihannya sulit karena bila tidak mau bisa berakibat tak lagi memiliki tanah lagi untuk digarap.

Sedangkan akses terhadap modal, yang menjadi jalan bagi para penyewa lahan kecil untuk memiliki dana tunai, begitu sulit juga. Kelompok pertanian yang dibuat, didominasi kaum petani kaya dengan kepemilikan lahan yang luas, yang mementingkan kepentingan mereka sendiri.

Kondisi Politik di Sedaka mayoritas berpatron kepada partai penguasa UMNO, sedikit yang memilih partai oposisi PAS. baik PAS maupun UMNO merupakan wadah politik etnis melayu, walaupun UMNO lebih terbuka kepada etnis lain, dibandingkan PAS yang berlandaskan agama islam yang kental dengan melayu.

Dalam bukunya yang berjudul “Moral Ekonomi Petani”, Scott menjelaskan bagaimana “etika subsistensi” atau etika untuk bertahan hidup dalam kondisi minimal, melandasi segala perilaku kaum tani dalam hubungan sosial mereka di pedesaan. Itulah yang disebut Scott sebagai “Moral Ekonomi”, yang membimbing kaum tani dalam mengelola kelanjutan kehidupan kolektif dan hubungan resiprokal (timbal balik atau pertukaran) saat menghadapi tekanan-tekanan struktural. Maka bentuk perlawanan yang akan muncul dalam keseharian kaum tani, selalu berlandaskan “Moral Ekonomi” tersebut.

Perlawanan Sehari-Hari:

Menjatuhkan Nama Baik

Norma sosial yang berlaku di Kampung Sedaka yang mayoritas beretnis melayu dan mayoritas beragama islam, menjadi ukuran untuk menilai baik-buruk tingkah laku seseorang. Maka akan segera ditemukan, bentuk perlawanan sehari-hari dalam bentuk bergosip, menggunjingkan seseorang, bahkan memfitnah, tentu dengan maksud menjatuhkan kredibilitas moral orang yang digosipkan. Nama baik, bagi masyarakat kampung, amatlah penting, karena itu akan menentukan bagaimana ia diperlakukan dan dihormati orang lain. Tersebutlah dua nama yang berada pada titik ekstrim yang sering digunjingkan, di mata kaum kaya, nama  Razak adalah wujud nyata orang miskin yang tak tahu diri, malas, tidak jujur dalam bekerja. Sedangkan di mata kaum miskin, nama Kadir dengan julukan-julukan negatif atasnya, adalah perwujudan dari orang kaya yang angkuh dan pelit.

Tentu selain Razak dan Kadir, yang melambangkan dua kutub ekstrim kaum kaya dan kaum miskin, ada banyak nama lain yang tidak berada pada posisi ekstrim. Misalnya saja Hamzah yang dikenal sebagai kaum miskin yang rajin dan jujur.

Perlawanan lewat menjatuhkan nama baik seseorang, memang menguntungkan bagi orang-orang kalah. Misalnya Razak menggunjingkan Kadir, nama Kadir pasti akan dipandang orang dengan pandangan negatif, walau bisa jadi di depannya semua bermuka manis. Citra buruk Kadir, bisa jadi akan terwariskan ke anak-cucunya. Walau begitu, Razak tak akan sepenuhnya kehilangan pekerjaan karena citra buruknya, karena kebutuhan akan buruh. Bagi kaum miskin, solidaritas adalah hal penting, dan berasal dari sikap tahu sama tahu antar mereka. Misalnya Kadir kesal dengan Razak sehingga tak mengajak Razak dan kelompoknya dalam pekerjaan yang diperlukan Kadir, maka kelompok lain akan menolak bila Kadir menawarinya pekerjaan yang seharusnya untuk Razak. Maka mau tidak mau Kadir tetap mempekerjakan Razak. Walau demikian, dengan mekanisasi pertanian, masuknya alat pemanen, alat perontok gabah, atau masuknya buruh tani dari thailand (kedah berbatasan dengan thailand), orang-orang yang kalah makin terpinggirkan.

Sekali lagi, perlawanan sehari-hari memang bukanlah perlawanan yang akan dimenangkan mutlak oleh orang-orang kalah, karena banyak keterbatasan yang dimiliki, namun dapat menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan keuntungan. Menjatuhkan nama baik, juga sulit untuk ditemukan pelakunya, karena orang-orang bergunjing di belakang, sedangkan saat bertemu muka, biasanya bermanis-manis dan penurut. Pembicaraan di belakang layar, yang berisi gosip dan gunjingan terhadap seseorang, hanya berlaku pada saat berada dalam kelompoknya, dan tantangan tersendiri bagi seorang peneliti untuk mengetahui hal itu, karena itu artinya peneliti harus lebih dulu dipercaya sebagai bagian dari kelompoknya dan dipercaya tidak akan membocorkan gunjingan atau gosip kepada orang lain

Tidak Mau Merawat Fasilitas Umum

Bentuk perlawanan sehari-hari lainnya adalah dengan menolak diperbaikinya fasilitas umum, misal jalan kampung. Karena bila jalan kampung makin bagus, maka truk pengangkut padi akan mudah mendekat ke sawah, itu artinya, mata pencaharian buruh/ pengangkut padi akan hilang atau berkurang. Hal ini pun terjadi misalnya di sebuah kampung di Jogjakarta, seperti disebutkan Lukman Soetrisno dalam pengantar edisi Indonesia buku ini, bahwa petani penggarap tidak mau merawat fasilitas irigasi karena lebih menguntungkan pemilik lahan.

Pencurian Kecil-Kecilan

Pencurian kecil-kecilan pun dilakukan orang-orang kalah. Terdapat laporan pencurian-pencurian dari petani kaya, atau pencurian hewan ternak milik petani kaya, kemudian menuduh tanpa nama kepada orang-orang miskin dengan perilaku buruk. Pencurian biasanya dengan memasukkan gabah hasil panen ke dalam saku. Cara lainnya dengan tidak merontokkan gabah hingga tuntas, yang kemudian di malam hari padi-padi yang masih tersisa gabahnya, dirontokkan dan dimiliki sendiri. Pencurian kecil-kecilan ini memang sulit dibuktikan oleh orang-orang kaya yang merasa dicuri karena skala yang sangat kecil, mereka hanya menebak dan menuduh di belakang. Sedangkan bagi kaum miskin, mereka seperti tahu sama tahu saja soal siapa yang berbuat.

Tentu pencurian semacam itu harus mempunyai justifikasi moral guna menghilangkan perasaan bersalah bertentangan dengan norma yang ada. Misalnya orang miskin yang mencuri pun beranggapan hanya mengambil untuk makan sebagai haknya, karena yang dicuri adalah milik petani kaya yang pelit dan tidak mau berderma atau berzakat. Bentuk perlawanan berupa pencurian kepada kaum kaya yang pelit untuk keperluan kaum miskin, familiar dalam sejarah, seperti kisah Robin Hood, atau di Indonesia seperti kisah Pitung.

Eric Hobsbawm, menyebut bandit yang melakukan pencurian semacam itu, seperti dalam judul buku karangannya yang mengkaji fenomena itu, Bandit Sosial. Tentang para bandit-bandit ini pun, dalam kajian di Indonesia, bisa dilihat dalam buku karangan Suhartono berjudul “Bandit-Bandit di Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942”. Untuk kasus pencurian kecil-kecilan dan tindakan tahu sama tahu di kalangan orang-orang miskin, terjadi juga di petani pinggir hutan di jawa, kasus ini bisa dilihat dalam buku karangan Hery Santoso yang menggunakan pisau bedah yang sama dengan Scott dalam menemukan perlawanan sehari-hari. Buku karangan Hery Santoso itu berjudul “Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa”.

Bermalas-malasan

Imej Razak yang miskin dan malas, menurut Mahathir Muhammad, melekat pada bangsa melayu secara umum, seperti disebutkan dalam bukunya “Dilema Melayu”. Hal ini karena bangsa melayu hidup di kondisi alam yang subur makmur. Walau begitu, pandangan Mahathir menimbulkan pro dan kontra. Menurut S.H.Alatas dalam bukunya “Mitos Pribumi Malas”, imej malas ini pun tak hanya digelari kepada orang melayu, namun juga pada orang Indonesia dan Filipina. Sebutan ini tidak bebas kepentingan, label ‘malas’ hanyalah akal-akalan penjajah kolonial kepada bangsa Indonesia, Malaysia, dan Filipina, untuk semakin memeras keringat kaum terjajah. Penduduk melayu, malas karena dipaksa bekerja untuk kepentingan penjajah. Sikap bermalas-malasan ini juga dikenal pada imej orang “Samin” di Jawa misalnya, konon orang Samin selalu nurut untuk datang ke kerja bakti, namun berangkat tak membawa alat apa-apa sehingga ada alasan untuk tak kerja. Orang samin konon bertingkah nyeleneh untuk menghindari pembebanan pajak oleh penjajah. Kini, orang Samin masih terus melakukan perlawanannya, melakukan perlawanan dengan damai, sabar, dan simbolis, melawan pabrik semen.

Senada dengan itu, menurut Scott, bermalas-malasan adalah bentuk perlawanan sehari-hari bagi kaum lemah. Kaum lemah akan giat bila diawasi, akan berkata ‘YA’ saat di perintah, namun akan malas bila pengawas pergi, atau mengabaikan perintah. Sikap malas-malasan ini sebagai bentuk perlawanan karena toh bila rajin pun keuntungan terbesar akan menjadi milik orang lain, sedangkan kaum lemah bahkan tak mendapatkan hak yang cukup. Sikap bermalas-malasan ini tentu mengandalkan sikap tahu sama tahu diantara kaum lemah, dan sulit diketahui kaum berkuasa.

Pembangkangan Pribadi

Berapa banyak pribadi-pribadi di pasukan konfederasi yang desersi dari perang sipil Amerika, sehingga membuat perang segera usai. Atau penolakan-penolakan wajib militer warga amerika saat perang vietnam. Begitupun desersi-desersi orang per orang dalam banyak peperangan. Perilaku tersebut bisa saja awalnya dianggap kecil secara jumlah sehingga diabaikan, namun makin lama tindakan tersebut bisa membuat banyak orang terinspirasi dan melakukan hal yang sama dan berakibat besar.

Ciri Umum Perlawanan Sehari-hari

Dari contoh bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari yang dilakukan kaum lemah di atas, ada sebuah benang merah yang bisa kita lihat, yaitu perlawanan berlangsung dalam keseharian, dalam skala kecil sehingga tak dihiraukan, mengandalkan anonimitas dan tau sama tau, sehingga minim resiko.

Perlawanan yang tahan lama, sulit diendus, awet, diperlukan, daripada perlawanan yang terbuka dan bisa menghantam telak tetapi bisa menimbulkan pukulan balik yang mematikan, terlebih bagi kaum lemah yang tak memiliki sumber daya yang cukup. Pukulan balik yang mematikan bila melakukan perlawanan terbuka, terpotret juga dalam pengamatan langsung Scott di Sedaka, pada konflik mengenai Gerbang Kampung. Gerbang Kampung yang dibangun atas persetujuan warga guna mengatur kapan saja mobil truk pengangkut boleh masuk kampung untuk menjemput padi. Seperti sudah dijelaskan di atas, masuknya truk pengangkut bisa mengurangi penghasilan buruh pengangkut maupun ojek pengangkut. Sedangkan bagi kaum kaya, masuknya truk bisa mengurangi biaya angkut. Walau demikian, kaum kaya yang memang dominan, selalu bisa memaksakan keinginannya, walau terjadi kompromi karena tidak ingin dianggap mengambil rizki orang lain. Maka dibuatlah gerbang kampung untuk mengatur buka tutup. Namun konflik pecah di suatu waktu mengenai pengaturan gerbang kampung, dan korbannya adalah kaum miskin yang berafiliasi dengan PAS semua tersingkir dari struktur forum-forum warga, disingkirkan oleh petani-petani kaya yang mayoritas berasal dari UMNO.

Itu mengapa, perlawanan sehari-hari yang aman dari resiko, jadi pilihan yang rasional bagi kaum lemah berdasarkan pengalaman empiris mereka, dengan harapan suatu waktu, seperti kata Sun Tzu “peperangan yang lama, akan menguras sumber daya lawan”

Mempertanyakan “Hegemoni” Gramsci

Kajian Scott ini dalam tataran teoritis, mempertanyakan mengenai konsep Hegemoni yang didengungkan Gramsci. Gramsci merasa aneh dengan keadaan eropa saat itu, dimana kontradiksi-kontradiksi kapitalisme begitu vulgar terlihat, namun tak kunjung jua massa melakukan revolusi. Gramsci menarik kesimpulan bahwa kelas berkuasa tidak hanya menguasai alat produksi fisik, namun juga simbolis melalui kebudayaan, agama, pendidikan, media. Sehingga kelas tertindas menuruti keinginan kelas penguasa bukan lagi melalui paksaan fisik namun persetujuan dan penyesuaian diri. Hegemoni akhirnya menyebabkan keteraturan sosial, seperti yang diinginkan kaum berkuasa. Itu mengapa, menurut Gramsci, revolusi, tidak bisa diharapkan muncul dari kaum lemah yang sudah terhegemoni, revolusi butuh kehadiran kekuatan dari luar, yang disebut Gramsci sebagai Intelektual Organik, yang akan menanamkan kesadaran kritis.

Lewat kajian ini, konsep hegemoni ala Gramsci, dipertanyakan kembali, menurut Scott “konsep Hemegoni Gramsci abai dalam memperhatikan keberadaan kaum tertindas, terutama dalam hal pengalaman material yang mereka anut. Pengalaman material disini didapat berupa relasi ekonomi yang sebelumnya telah terbentuk antar masyarakat. Masuknya ideologi dominan, yang selanjutnya menjadi ideologi yang menghegemoni tidak mampu secara penuh menghancurkan pengalaman-pengalaman material tersebut, karena jika dilihat secara historis masyarakat akan mempertahankan interpretasinya terhadap ideologi yang mereka anut sebelumnya, yang mana berbeda atau bahkan melawan ideologi baru yang dibentuk oleh elite dan/atau negara”

Selain sumbangsih teoritis bagi konsep hegemoni gramsci, kajian Scott ini juga mempelopori penemuan-penemuan atau pembuktian-pembuktian apa yang disebut “perlawanan sehari-hari” atau “senjatanya orang-orang kalah” dalam kajian agraria, pedesaan, maupun perlawanan kaum tani, di ruang dan waktu yang berbeda. Walau Scott dalam bukunya sudah memberikan contoh-contoh kasus sepanjang sejarah mengenai “perlawanan sehari-hari” yang tidak saja berlangsung pada kaum tani, namun pada kaum lemah lainnya, seperti budak, buruh, dan lainnya.

Untuk kasus Indonesia, setidaknya saya menemukan dua buah buku yang menggunakan pisau bedah serupa dengan apa yang dilakukan Scott. Itu menandakan bahwa temuan Scott di Malaysia di tahun 1978, juga ditemukan di Indonesia di milenium baru. Dua buku tersebut adalah,“Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa” karya Herry Santoso, dan “Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa” karya Sadikin dan Sofwan Samandawai. Selain dua buku tersebut, mungkin saja banyak buku lain yang menggunakan analisis serupa namun belum saya ketahui.

Sayangnya, buku Scott ini sudah lama tidak diterbitkan kembali, seperti buku-buku Scott lainnya, sehingga sulit dicari dan didapatkan. Saya mendapatkan buku Scott ini dari perpustakaan sebuah kampus. Padahal buku ini sangat penting bagi banyak pembaca, seperti apa yang disampaikan Daniel S. Lev, seorang ilmuwan politik tersohor, bahwa “siapapun yang ingin memahami masyarakat petani secara komprehensif di Asia Tenggara atau di manapun, atau ingin memahami teori-teori tentang perubahan, akan gagal bila tidak membaca buku ini”

Foto: AF/ pijarkecillibrary.wordpress.com
*****
Keterangan Buku
Judul: Senjatanya Orang-Orang yang Kalah: Bentuk-Bentuk Perlawanan Sehari-Hari Kaum Tani
Judul Asli: Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance
Penulis: James C. Scott
Penerjemah: A. Rahman Zainuddin, Sayogyo, dan Mien Joebhaar
Penerbitan: Yaysan Obor Indonesia, 2000
Penerbitan Edisi Asli: Yale University, 1985
Halaman: xxxii + 512 halaman
******
Sumber lain sebagai bahan tulisan:

  1. James C. Scott. Moral Ekonomi Petani. LP3ES, 1983.
  2.  http://ikhtisarstudiagraria.blogspot.co.id/2010/06/james-c-scott-dan-karya-agraria-nya.html
  3. Eric J. Hobsbawm. Bandit Sosial. Teplok Press, 2000.
  4. Suhartono. Bandit-Bandit di Pedesaan Jawa: Studi Historis 1850-1942. Aditya Media, 1995.
  5. Hery Santoso. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-Desa Sekitar Hutan di Jawa. Yayasan Damar, 2004.
  6. Mahathir bin Mohamad. Dilema Melayu. Penerbit Sinar Harapan, 1985.
  7. S. H. Alatas. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu, dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. LP3ES, 1988.
  8. http://ruwatbuku.blogspot.co.id/2016/02/perlawanan-kaum-samin.html
  9. http://rijensaakbar.blogspot.co.id/2014/03/belajar-dari-gerakan-sosial-baru.html
  10. Sadikin dan Sofwan Samandawai. Konflik Keseharian di Pedesaan Jawa. Yayasan Akatiga, 2007.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url