Satu Tuhan Banyak Agama; Renungan Untuk Masyarakat Beragam



Di tengah sengkarut hubungan antaragama, Timur-Barat dan arus modernisne dengan tradisionalisme -yang semua jelas menjurus kearah pertarungan global, kita sebagai warga dunia jelas membutuhkan jalan keluar alternatif, paling tidak mampu menjembatani-menengahi pertemuan dua kutub yang saling berlawanan tersebut. kalangan ateis dan agnostik saat ini, boleh saja menuding agama sebagai biang keladi kerusakan bangunan pikiran dan tata kelola hidup kita di masa kini. Namun mereka tak bisa menutup mata tentang konstribusi besar agama terhadap beradaban manusia selama ribuan tahun.

Buku Satu Tuhan Banyak Agama ini menjelaskan bahwa Ibn 'Arabi, Rumi dan Al-Jili sebagai sosok yang memiliki kefasihan dalam beragama, yang menjadi tolak ukur ialah agama tak sekedar sebagai normatif saja namun juga spiritualitas yang dampaknya jelas tampak dalam kehidupan. Media mengatakan bahwa ketiga sufi besar tersebut berpendapat sama bahwa pada ranah transendental, semua agama memiliki kesatuan esensi, namun kemudian termanifestasi jadi sekian ragam perbedaan.

Dalam hal sesembahan, ritus, kitab suci, dan dampak eskatologinya. Lantas bagaimana kita dapat menemukan titik temu dari sekian titik perbedaan itu? Bagaimana pula bisa memahami Tuhan yang tak terbentuk; yang dampak pada sesembahan; yang dipahami dan Tuhan Yang Tak Terpahami?

Buku yang merupakan buah pikiran Media Zainul Bahri, doktor dari Universitas Negeri Islam Jakarta ini, merupakan kisah lain betapa agama masih relevan untuk terus kita perbincangkan. Jika kita ingin mencermati inti sebuah agama, niscaya kita akan menemukan kedamaian yang tersembunyi, keharmonisan dan kebahagiaan universal. Buku ini layak dicermati, ditelaah, direnungkan secara baik dan benar.

Buku “Satu tuhan banyak agama” karya Media Zainul Bahri ini membahas tentang pandangan para ulama sufi mengenai pandangan pluralisme dalam beragama. Setelah membaca buku ini semakin memperluas cakrawala saya tentang arti pluralisne dan pentingnya toleransi antar umat beragama.

Ketiga ulama yang mengemukakan pendapatnya di buku ini adalah Ibnu ‘Arabi, Jallaludin Ar Rummi, dan Abdul Al-Karim Al-jilli. Ketiganya mempunyai pandangan yang sama tentang konsep pluralisme dalam beragama, tetapi penyampaiannya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini dikarenakan, Karakteristik ulama dalam menyampaikan pandanganya, dan juga dikarenakan ketiganya hidup di masa yang berbeda, sehingga mereka tidak pernah saling bertukar pikiran.

Mereka menjelaskan bahwa terdapat kesamaan diantara semua agama. kesatuan itu dapat dilihat pada uraian-uraian ketiga sufi mengenai kesatuan ketuhanan, kesatuan asal syariat,doktrin agama, kesatuan sumber kitab suci, kesatuan tujuan pengabdian, dan ajaran cinta kasih. Semua agama tentunya menuju pada Tuhan Yang Maha Esa,dan kitab suci-Nya pun berasal dari Tuhan itu juga. Berarti ada kesamaan tehadap tuhan itu sendiri. Dengan kata lain Hanya ada satu Tuhan dan banyak jalan  (Agama) yang bisa ditempuh untuk mencapai Tuhan itu.

Ibnu ‘Arabi menjelaskan pandangannya secara intelektual dalam penyampaian pemikirannya. Beliau membahas respon manusia berdasarkan pengetahuan akan Tuhan,konsep kultur dalam ketuhanan,interaksi tajalli dan manusia yang semuanya di jelaskan dengan kata-kata yang mudah di pahami.

Lain halnya dengan Jallaludi Ar-Rumi lebih sering menjelaskan pandangannya dengan menggunakan untaian kata yang dirangkai menjadi suatu karya satra yang indah. Dia juga sering menggambarkan pemikirannya melalui dongeng, fabel, tamsil dan sebagainya agar lebih mudah dipahami orang.

Sementara Al-Jilli menjelaskan pandangnya tentang beragama secara lebih kompleks dari kedua sufi lainya. Bahasa yang digunakan Al-jilli juga tergolong mudah untuk dipahami. Jilli lebih banyak menjelajahi gagasan-gagasan Ibnu ‘Arabi, meskipun terdapat pula modifikasi dan hal unik yang diuraikannya.

Tidak ada perbedaan signifikan antara ketiganya. Kecuali persamaan seperti teori tajalli, sebab-sebab perbedaan syariat, agama dan keyakinan, nama-nam dan sifat tuhan, Tuhan impersonal dan personal, kesatuan esensi dalam beragama.

Walaupun bentuk-bentuk agama berbeda,tetapi tidak sedikit doktrin agama,terutama yang menyangkut etika,memiliki titik temu atau kesamaan antara satu dengan yang lain. Para pemeluk agama dapat memahami mekipun berbeda agama,tetapi semua agama selalu mengajarkan etika-etika baik seperti berkata jujur,menghormati orang tua, mengasihi sesama umat manusia,dll.

Selain kesamaan antar agama,terjadi juga perbedaan antar agama. Hal inilah yang sering menimbulkan konflik atau perpecahan antar umat manusia. Perbedaan dan keragaman agama-agama terjadi pada bentuk penampakan tuhan terhadap hambanya (tajalli), faktor historis-alamiah, dan juga respons. Manuasia memang dibebaskan untuk memilih agama yang di peluknya dan juga melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tapi itu semua tergantung pada tingkat pengetahuan dari manusia tersebut agar dapat ber-tajalli dengan Tuhannya.

Dalam kontek beragama mempunyai sifat absolut dalam dirinya. Setiap manusia meyakini bahwa tuhan yang disembahnya adalah Tuhan yang benar-benar Tuhan.tetapi jika dia memandang di luar dirinya, Manusia harus memiliki sifat relatif, dalam arti apa yang dianggapnya benar,belum tentu orang lain menganggapnya juga benar, begitu juga sebaliknya. Penulis menyataka dengan istilah “absolutelly relative” yang berarti keyakinan seseorang selalu dianggap benar oleh dirinya sendiri,tapi konteksnya berbeda saat memandang ke luar dirinya.

Ketiga sufi meyakini Agama dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad SAW adalah yang paling sempurna, unggul, mudahdan penuh kebahagiaan menuju Tuhan. Sementara jalan-jalan yang lain namun penuh dengan resiko. Dengan kata lain jalan itu memang tertuju pada Tuhan, tetapi kemungkinan manusia akan tersesat di tengah jalan tersebut sebelum mencapai titik akhir yaitu Tuhan.

Doktrin kesatuan transenden atau batini agama-agama merupakan kombinasi kuat dan kokoh dari pengalaman spiritual dan pengetahuan ketiga sufi. Jika Kitab suci menyebutkan hanya ada satu tuhan yang mengirim beragam rasul dengan membawa syariat yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kultur umat masing-masing. Secara spiritual Ibnu ‘arabi, Rumi, Jilli menyaksikan satu jalan ketuhanan tersebut. “Agama” sejatinya hanyalah satu karena bersumber dan beresensi dari yang sama.

Visi yang harus disadari oleh seorang hamba adalah apapun agamanya,untuk tidak menganggap rendah Tuhan yang diyakini oleh orang lain dikarenakan pada dasarnya Tuhan yang dibicarakan adalah sama, melainkan justru mau belajar dari kekayaan tradisi-tradisi keimanan orang lain agar menambah keimanan kita kepada Tuhan. Tuhan terlalu luas untuk kau sempitkan dalam pemahaman tertentu. (Sumber Artikel )

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url